OPINI

Bubarnya Indonesia : Fakta atau Rekayasa?
Oleh : Katarina Kewa Sabon Lamablawa

Menjelang perlehatan pesta demokrasi akbar di tahun politik (penyelenggaraan Pilkada serentak di senjumlah daerah) dan persiapan Pemilihan Legislatif dan Pemiihan Presiden tahun depan, Indonesia diguncang sebuah pernyataan menggelitik dari salah seorang tokoh terkemuka, yang dikabarkan akan kembali maju menjadi calon presiden. Adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, yang pada pidatonya dalam acara konferensi dan temu kader nasional Partai Gerindra di Bogor, Jawa Barat, pada Oktober 2017 lalu. Viralnya pernyataan mantan Danjen Kopassus tersebut yang mengatakan bahwa Republik Indonesia akan bubar pada tahun 2030 menuai kontroversi pasca cuplikan pidato yang dibawakannya, dirilis melalui akun Facebook resmi partainya. Selain itu, pada sebuah acara di Universitas Indonesia, Prabowo juga masih menyatakan hal yang sama, yang juga diunggah akun Gerindra TV di YouTube.

Prabowo Subianto yang mengklaim bahwa isi pidatonya tersebut adalah hasil prediksi atau kajian dari para ahli luar negeri, belakangan diketahui bahwa dasar pernyataannya adalah sebuah cerita fiksi dari sebuah novel berjudul “Ghost Fleet” yang ditulis oleh Peter Warren Singer dan Auguste Cole. Meski pun hanya sebuah fiksi, latar belakangan kedua penulis yang adalah ahli strategi dari Amerika, menurut Prabowo menjadi sebuah “kode keras” bahwa Indonesia memang akan bubar. Akan tetapi, dalam ciutan di akun Twitter pribadinya @peterwsinger yang menautkan rekannya sesama penulis novel ini @august_cole, keduanya menyatakan bahwa apa yang mereka tulis hanyalah fiksi, bukan prediksi.

Pasca mencuat ke permukaan publik, pernyataan orang nomor 1 di Partai Gerindra ini ramai diperbincangkan dimana-mana. Banyak pihak yang sontak menyayangkan sikap Prabowo yang dianggap pesimistik dan tidak layak untuk dilontarkan dari seorang tokoh negara sepertinya. Prabowo kemudian dianggap tidak pantas menjadi teladan dalam menjaga kedaulatan NKRI. Sebaliknya, menurut politikus Partai Gerindra, Elnino Husein Mohi, yang juga anggota Komisi I DPR RI tersebut, mengklaim bahwa isi pidato Prabowo dimaksudkan sebagai sebuah peringatan bagi bangsa Indonesia sekaligus amunisi bagi rakyat untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono menjelaskan berbagai fenomena yang dirasanya mampu menguatkan “prediksi” Prabowo tersebut, antara lain Indonesia yang kini tengah menjadi rebutan negara-negara lain dan sumber dayanya yang juga sedang dikuasai oleh pihak asing.

Sementara itu, di tengah perkembangan opini publik yang tentu saja akan melahirkan pro dan kontra, optimisme terhadap keberlangsungan sejarah kehidupan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia terus bergulir. Beberapa tahun terakhir ini, bahkan Indonesia sering menghiasi jajaran negara yang oleh para ahli diprediksi akan menguasai perekonomian dunia. Willem Buiter misalnya, yang bersama-sama dengan tim riset Citigroup seperti yang dirilis oleh liputan6.com pada 13 Juni 2017 yang lalu, memprediksikan bahwa Indonesia akan berada di urutan ke-6 dari 10 negara raksasa perekonomian dunia pada 2050 mendatang. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Bank Standard Chartered di Inggris yang berjudul The Super-cycle Report memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi bintang perekonomian Asia. Dari peringkat ke-28 pada tahun 2000, Indonesia akan menyodok ke peringkat ke-10 pada tahun 2020 dan peringkat ke-5 kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030.

Salah satu faktor lain yang tidak boleh diabaikan dan mesti dioptimalkan dalam membangun Indonesia dan mencegah bubarnya negara yang pada zaman Kerajaan Majapahit telah ditaklukkan di bawah Sumpah Palapa ini, adalah bonus demografi. Bonus Demografi adalah sebuah transisi demografi yang sangat menguntungkan ketika penduduk usia produktif (15-64 tahun) mengalami jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan proporsi penduduk usia non produktif. Dan Indonesia sendiri diprediksi akan mengalami bonus demografi ini pada tahun 2020-2030 mendatang.

Berdasarkan paparan Surya Chandra, anggota DPR RI Komisi IX, dalam sebuah Seminar masalah kependudukan di Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, seperti yang dilansir Kompasiana.com pada 11 Desember 2017 ini, jumlah usia angkatan kerja pada 2020-2030 yang akan datang mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen adalah penduduk dengan usia non produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun) dan bila dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif akan mencapai 180 juta, sementara yang non-produktif hanya 60 juta. Nah, bonus demografi inilah yang bisa dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai sebuah peluang, untuk memajukan kesejahteraan bersama, dengan syarat utama apabila masyarakat usia produktif memiliki mutu sumber daya yang dapat menunjang dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara. Indonesia bisa berkaca pada negara Jepang yang mengalami bonus demografi pada 1950, dan berhasil membuatnya melesat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi tertinggi ke-3 di dunia pada dekade 70-an, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Mengenai peningkatan kualitas sumber daya manusia, tentu dibutuhkan koordinasi yang erat dan akurat antar semua pihak di bawah komando pemerintah, untuk menggalakkan pembangunan di berbagai sektor, khususnya pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia Pancasialis yang mampu berkompetisi di berbagai sektor, mulai dari skala lokal, nasional, hingga global. Tugas dan tujuan negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 harus dikonkritkan dengan upaya nyata negara dalam memberikan pelayanan yang sama bagi seluruh masyarakat, tanpa mengenal lapisan sosial tertentu.

Berbagai ulasan di atas hanyalah sebagian kecil dari pelbagai lingkup dan jangkauan kehidupan bangsa Indonesia yang sampai di titik ini tengah diperhadapkan dengan sebuah gejolak atau polemik terkait bubarnya negara yang diklaim akan segera terjadi kurang dari dua windu ke depan. Masih banyak problematika negara yang perlu segera dicarikan solusi, bukan ilusi. Saatnya Indonesia menatap masa depannya dengan mata yang tajam dan hati yang tak akan pernah padam. Saatnya Indonesia melangkah menyongsong perubahan demi Indonesia yang akan tetap berdaulat hingga akhir hayat. Maka dengan begitu, kita akan menemukan jawabannya, bubarnya Indonesia pada 2030, fakta atau rekayasa? Saatnya kita tidak mencari, namun langsung memulai jawabannya.

Gubuk Merdeka, Kota Karang
30 Maret 2018